discussion
Indonesia telah menyusun peta jalan untuk bisa lepas dari jebakan kelas menengah dan masuk kelompok negara maju pada tahun 2045. Perjalanan panjang ini akan diawali oleh pemerintahan baru setelah era Presiden Joko Widodo.
Dalam konteks Indonesia, negara maju kerap diasosiasikan dengan negara berpendapatan tinggi. Padahal, pengertian negara maju berbeda dengan negara berpendapatan tinggi. Negara digolongkan berpendapatan tinggi apabila melewati ambang (thresholdo) tertentu.
Bank Dunia mengklasifikasikan negara jadi empat kelompok berdasarkan ambang pendapatan nasional kotor (gross national income/GNI). Pengelompokan berdasarkan tingkat pendapatan ini dinilai relevan karena terkait dengan produktivitas. Ambang GNI yang ditetapkan Bank Dunia pun akan berubah setiap tahun.
Pada 2022, negara yang termasuk kelompok berpendapatan rendah memiliki GNI di bawah 1.135 dollar AS, negara berpendapatan menengah rendah 1.136 dollar AS-4.465 dollar AS, negara berpendapatan menengah atas 4.466 dollar AS-13.845 dollar AS, dan negara berpendapatan tinggi di atas 13.845 dollar AS.
Jika dicermati, GNI per kapita Indonesia saat ini 4.580 dollar AS, dan termasuk kelompok negara berpendapatan menengah tinggi. Dengan demikian, untuk bisa menjadi negara berpendapatan tinggi, Indonesia harus meningkatkan GNI per kapita paling tidak tiga kali lipat dari capaian tahun 2022.
Secara historis sudah 30 tahun Indonesia terjerembab dalam kelompok negara berpendapatan menengah, bahkan sempat kembali masuk ke negara berpendapatan rendah pada 1998-2022 akibat krisis finansial Asia. Pertama kali Indonesia naik kelas dari negara berpendapatan rendah ke menengah tahun 1993.
Perjuangan menjadi negara berpendapatan tinggi memang bukan perkara mudah. Saat ini hanya ada 83 negara berpendapatan tinggi dari 217 negara dan teritori di dunia. Di Asia, baru negara lapis pertama yang berhasil naik menjadi berpendapatan tinggi, seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Selandia Baru.
Adapun negara maju didefinisikan sebagai negara yang memiliki kualitas hidup tinggi dan ekonomi serta teknologi yang maju. Dana Moneter Internasional (IMF) mengklasifikasikan negara menjadi dua kelompok besar, yakni negara maju (advanced economies) dan negara berkembang (emerging market and developing economies).
Pengelompokan negara didasarkan tiga aspek utama, yakni pendapatan per kapita, diversifikasi ekspor, dan integrasi sektor keuangan. Jika mengacu IMF, saat ini Indonesia termasuk kelompok negara berkembang bersama 155 negara lainnya.
Dengan demikian, kriteria negara maju (menurut IMF) lebih kompleks dibandingkan kriteria negara berpendapatan tinggi (menurut Bank Dunia).
Pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebenarnya telah menyusun peta jalan Indonesia menuju negara maju dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Untuk menjadi negara maju, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tidak harus berkisar 6-7 persen dalam kurun 20 tahun terakhir.
Ada empat tahapan yang harus ditempuh menurut rancangan awal RPJPN. Tahap pertama (2025-2029) fokus pada hilirisasi sumber daya alam serta penguatan riset inovasi, dan produktivitas tenaga kerja dengan target pertumbuhan ekonomi 5,7-5,9 persen. Tahap kedua (2030-2034) pada peningkatan produktivitas dan perluasan sumber pertumbuhan ekonomi dengan target 6,1-7 persen.
Tahap ketiga (2035-2039) fokus pada penguatan ekonomi dalam negeri yang terintegrasi dengan jaringan rantai global, serta akselerasi ekspor dengan target pertumbuhan ekonomi 7-8 persen. Terakhir, tahap keempat (2040-2045) mulai masuk kelompok negara berpendapatan tinggi dengan target pertumbuhan ekonomi 5,8-7,1 persen. Apakah kondisi Indonesia saat ini sudah sesuai mendekati pijakan awal?
Tahun ini adalah tahun terakhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo, yang akan menjadi pijakan awal pemerintahan selanjutnya. Jika melihat capaian pertumbuhan ekonomi, realisasi tahun 2023 tercatat 5,05 persen, sedangkan tahun 2024 ditargetkan 5,2 persen. Adapun dalam 20 tahun terakhir, laju pertumbuhan ekonomi RI rata-rata hanya 4,97 persen.
Padahal, menurut rancangan awal RPJPN, pertumbuhan ekonomi tahun 2025 paling tidak 5,7 persen, yang berarti masih kurang sekitar 1 persen untuk berada di level sesuai rencana. Oleh karena itu, pemerintah periode selanjutnya harus bekerja lebih keras agar perjalanan menuju negara maju bisa kembali ke rute semula. Jika tidak, gap antara realisasi dan ekspektasi akan semakin besar.
Pertumbuhan ekonomi yang masih di bawah pijakan awal juga terkait dengan kontribusi sektor pengolahan. Selama ini kontribusi industri pengolahan terhadap produk domestik bruto (PDB) berkisar 18-19 persen, bahkan cenderung menurun. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai target tahapan pertama Indonesia maju, kontribusi industri pengolahan paling tidak 20 persen PDB.
Upaya memacu produktivitas industri pengolahan sangat terkait dengan kualitas sumber daya manusia atau SDM. Sayangnya, menurut data BPS per Februari 2023, mayoritas penduduk di atas 15 tahun adalah lulusan sekolah dasar atau SD (37,7 persen). Sebaliknya, penduduk lulusan perguruan tinggi menjadi yang terkecil (10,2 persen). Persentase tingkat pendidikan juga sejalan dengan capaian angka partisipasi kasar (APK).
Selama ini, APK perguruan tinggi Indonesia relatif rendah atau kurang dari 35 persen. Padahal, pengalaman empiris untuk menjadi negara berpendapatan tinggi menunjukkan capaian APK perguruan tinggi harus lebih dari 55 persen. Pendidikan menjadi proksi paling penting dalam peningkatan kualitas SDM karena terkait dengan pengusahaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Urgensi peningkatan kualitas sumber daya manusia semakin nyata mengingat bonus demografi akan memudar sebelum tahun 2040 berdasarkan proyeksi sensus penduduk tahun 2020. Jika Indonesia memasuki aging society berarti jumlah penduduk usia produktif akan berkurang, dan pada saat yang sama peranan mereka dalam mendukung pertumbuhan ekonomi juga menurun secara gradual.
Bonus demografi di Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak 2012, tetapi, harus diakui, belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan kuat. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi stagnan kisaran 5 persen dengan PDB per kapita hanya 4.784 dollar AS dan menempati urutan ke-115 dari 193 negara di dunia.
Peningkatan kualitas SDM yang didukung adopsi teknologi akan secara masif meningkatkan produktivitas. Namun, hal itu pun akan sulit terwujud manakala institusi dan kelembagaan di dalam negeri tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu, perbaikan institusi dan pembenahan regulasi tetap harus menjadi fokus pemerintah ke depan untuk menggapai cita-cita yang besar.
Tantangan menuju negara maju tidak hanya bersumber dari dalam, tetapi juga luar negeri. Peningkatan tensi geopolitik dan fragmentasi global yang belakangan terjadi sangat mungkin berlangsung dalam jangka panjang. Terlebih, hampir semua ekonom berpendapat pandemi Covid-19 akan membawa perekonomian dunia ke kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya, atau mencari keseimbangan baru.
Berbagai risiko global itu akan memengaruhi perekonomian dalam negeri melalui dua jalur, yakni perdagangan dan keuangan. Di bidang perdagangan, risiko global umumnya berdampak terhadap penurunan kinerja ekspor dan peningkatan sejumlah harga komoditas. Adapun di bidang keuangan akan tertransmisi melalui kenaikan suku bunga dan peningkatan biaya dana (cost of fund), yang pada akhirnya berpotensi menurunkan investasi.
Di Indonesia, risiko dari ketidakpastian pasar keuangan global coba diantisipasi dengan membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan. KSSK dibentuk untuk memperkuat sinergi kebijakan di antara pemangku kebijakan ekonomi.
Salah satu agenda utama KSSK menuju Indonesia maju adalah pendalaman pasar keuangan melalui diversifikasi produk, instrumen, dan penjaminannya. Pendalaman pasar keuangan dilakukan untuk menarik lebih banyak investor jangka panjang masuk ke dalam negeri. Saat ini pasar keuangan Indonesia dinilai masih dangkal, ditandai dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang rentan melemah ketika terjadi guncangan global.
Pendalaman pasar keuangan juga dinilai akan mengatasi tantangan pembiayaan menuju negara maju. Pasalnya, untuk mengejar rata-rata pertumbuhan ekonomi 7 persen terdapat kesenjangan pembiayaan (financial gap) berkisar 9-10 persen PDB, atau Rp 1.880 triliun-Rp 2.089 triliun berdasarkan PDB tahun 2023. Sementara defisit APBN menurut ketentuan perundang-undangan tidak boleh lebih dari 3 persen PDB.
Solusinya, butuh peran swasta terutama investor jangka panjang untuk urun rembuk mendanai berbagai program strategis nasional. Investor bisa masuk melalui pasar keuangan ataupun penanaman modal langsung. Selain diversifikasi, pendalaman pasar keuangan juga bisa dilakukan dengan mengembangkan sektor keuangan syariah. Untuk itu, sinergi pemangku kebijakan ekonomi sangat dibutuhkan dan harus terus diperkuat.
Mewujudkan Indonesia menjadi negara maju memang tidak mudah. Ada tantangan pembiayaan dan pijakan awal yang tak sesuai harapan. Namun, bukan berarti cita-cita menjadi negara maju tidak bisa terwujud. Kuncinya ada pada komitmen pemerintah dan kepemimpinan selama dua puluh tahun mendatang.
Rektor Atmajaya, Kolumnis Ekonomi Kompas
Akademisi UGM/ Ekonom
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian
Wakil Ketua Dewan Komisioner LPS
Penulis Buku Indonesia Menuju 2045
Penulis Buku Indonesia Menuju 2045